KEKAWITAN MANUKABA


Bali merupakan salah satu pulau yang berhasil menyelamatkan sejumlah naska nusantara, terutama naskah Jawa Kuno, Bali dan lombok. Sebagaimana diketahui bahwa kedatangan agama islam di pulau Jawa dan runtuhnya kerajaan Majapahit mengakibatkan banyak naskah Jawa Kun diselamatkan ke Bali. Di jawa pusat-pusat yang  dahulu memancarkan gairah bagi aktifitas kesusastraan Jawa kuno tidak berkembang lagi. Suasana Khas yang diperlukan untuk menumbuh suburkan karya satra Jawa Kuno pada masa itu dan Agama hindu yang dahulu mengalami sejumlah besar Kekawitan, entah dari sudut ajaran dan praktik telah lenyap (Zoetmulder,1985:24)
Sementara itu keraton-keraton di Bali tetap merupakan penjaga-penjaga setia kesusastraan Jawa Kuno. Dikalangan Brahmana da Istana, karya-karya sastra Jawa Kuno tetap dibaca, di pelajari disalin kembali, atau karya-karya baru juga diciptakaan. Masyarakat Bali terus mengembangakan sastra Jawa Kuno, dan kegiatan olah sastra tersebut mencapai puncaknya pada masa kerajaan Gegel, pada abat XVI, selama pemerintahan Dalem Watu  Renggo. Pada masa itu tampil pujangga-pujangga besar seperti Danghyang Nirartha dan Ki Gusti Dauh Bale Agung. Tradisi sastra Jawa Kuno tersebut berlanjut terus pada masa kerjaan Kelungkung pada abad XIIIV sampai abad XIX, pada masa pemerintahan Dewa Agung Istri Kanya hingga sekarang.
Naskah sebagai peninggalan masa lampau mampu memberi informasi mengenai berbagai aspek kehidupan masyarakat masa lampau, seperti politik, ekonomi sosial dan budaya, karena dalam naskah-naskah kuno terkandung masalah-masalah, antara lain ajaran-ajaran agama, sejarah, hukum, adat istiadat,  filsafah, politik, sastra, astronomi, ajaran moral, mantra, doa-doa, obat-obatan, mistik bahasa, bangunan, tumbuh-tumbuhan  dan sebagainya. Dengan melihat kandungan naskah-naskah tersebut tentulah naskah sangat berperan dalam kehidupan bermasyarakat.
Sebagai perekam buah pikiran, pandangan hidup, gagasan, ide-ide dan berbaga informasi, naskah telah sejak dulu mempunya peren penting. Hal ini dapat diketahui, baik dalam data yang tertulis dalam naskah maupun yang terihat pada pemakainya dalam kehidupan masyarakat. Sejalan dengan itu Chamamah Soeratno (1996) mangatakan bahwa peran, fungsi dan manfaat naskah dalam masyarakat dapat dilihat dari kondisi fisik, bahasa, sastra dan materi-materi kandungan naskah.
Salah satu lontar yang diciptakan di Bali adalah Lontar “Kekawin Manukaba” yang naskah aslinya tersimpan di UPTD Gedonf Kartya Nomor IV B. 1094 / 10, akan kami coba paparkan disini, walaupun dengan sangat sederhana yang penting adalah isi yang terkandung didalamnya merupakan hasil goresan para cerdik cendikiawan kita pada jaman dulu.
Isi ringkasan dari kekawin ini adalah sebagai berikit : seekor burung betina bernama Sang Aba di pelihara oleh putra raja Keling (India) dengan rasa penuh kasih sayang ditempatkan dalam sangkar yang sangat indah, diberikan busana penuh keemasan serta penuh dengan permata.
Pada suatu hari sang Aba (Kawi; Manuk Aba) berhasil keluar dari sangkarnya lalu terbang kepulau Jawa karena ia merindukan Si Ayam hutan (keker).
Setelah putra raja mengetahui sang Aba tak ada dalam sangkarnya, segera beliu memerintakan para abdinya menangkap kembali sang Aba di Junggaluh pulau jawa, ia bertemu dengan si burung Terik yang langsung bertanya kepada Sang Aba tentang dari mana asal dan apa tujuannya datang ke Janggaluh itu.
Sang Aba menjawab bahwa ia berasal dari Keling negara India dan kedatangannya ke Junggaluh itu ingin bertemu dengan si Ayam Hutan.
Si Burung Terik menjelaskan bahwa belum waktunya dapat bertemu dengan Si Ayam hutan, karena baru sasih katiga. Nanti jika telah kapat dapat menemukan Si Ayam hutan disebuah tanah tegalan disamping hutan.
Sambil menunggu tiga masa sasih kapat, si Burung Aba melanjutkan perjalanannya. Disebuah pinggiran hutan si burung Aba bertemu dengan si Burung Bangau bahwa dirinya itu si Ayam hutan. Karena pandai merayu dengan kata-kata yang merdu, maka si burung Aba percaya bahwa si Bangau itu si Ayam hutan. Maka kedua burung tersebut menjad suani istri,
Setelah lama si Burung Aba menjadi istrinya si Bangau, timbul rasa juriganya bahwa suamina bukan si Ayam hutan karena ia melihat makanannya yang dimakan oleh si Bangau yakni ikan sungai, ikan sawah, belut dan katak. Sedangkan menurut pengetahuannya si Burung aba, makanan si Ayam hutan adalah biji-bijian, maka dengan secara diam-diam si Burung Aba meninggalkan si Bangau untuk mencari si Ayam hutan.
Akhirnya si Aba berhasil bertemu dengan si Ayam hutan dan telah menjadi sepasang suami istri yang kemudian melahirkan delapan ekor anak yang rupanya menyerupain Burung Bangau dan Ayam hutan.
Setelah kedelapan anak-anaknya besar, empat ekordibawa ke Keling oleh Si Burung Aba, yang empat lagi ditinggalkan di Pulau Jawa.
Sedangkan si bangau bersama istri dan anak-anaknya dijatuhi hukuman mati oleh para burung karena kejahatan penipuannya kepada si Burung Aba. Namun atas belas kasihannya si Burung Belekok, si Bangau tidak jadi di bunuh setelah berjanji tidak akan berbuat bohong dan menipu.




Sumber: KEKAWITAN MANUKABA, perpustakaan gedung Kartya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KEARIFAN LOKAL

Jagung Titi Khas Flores, NTT

Lunturnya Zaman Pakaian adat Ende Lio